
(Muikaltim,or id) Secara historis Basyarnas MUI diawali dengan didirikannya Badan Arbitrase muamalat Indonesia (BAMUI), tanggal 21 Oktober 1993 dengan bentuk badan hukumYayasan dengan Akte pendiriannya ditandatangani oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Hasan Basri dan Sekretaris Umum HS. Prodjokusumo. BAMUI, dibentuk oleh MUI berdasarkan keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI. Tahun 1992. Perubahan nama dari BAMUI menjadi BASYARNAS diputuskan dalam
Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan nama, bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam Surat Keputusan Majelis Ulama No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003. Fungsi utama Basyrnas MUI meliputi 2 (dua) hal pokok yaitu:
1.Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalat /perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, hukum, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan Peraturan Prosedur Basyarnas.
2.Memberikan pendapat hukum yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa ada sengketa mengenai suatu persoalan muamalat/perdata dalam sebuah perjanjian;
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui prinsip arbitrase menjadi salah kunci keberhasilan dari sistem penyelesaian sengketa termasuk sengketa dengan klausula syariah yang adil, efektif, dan sesuai maqashid syariah.
Jika dikaitkan dengan lembaga penyelesaian sengketa perdata, perdagangan dan keuangan, maka dapat merujuk ketentuan Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa,
“Upaya Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa” Ketentuan Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009 dijabarkan dalam ketentuan Pasal 59 UU No. 48 Tahun 2009, yang mengatur:
(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat sevara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
(3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Merujuk pada ketentuan Pasal 58 dan Pasal 59 UU No. 48 Tahun 2009 tersebut diatas, maka negara memberikan kemudahan bagi Masyarakat dalam menyelesaikan sengketa perdata, perdagangan, dan keuangan berdasarkan kalusula arbitrasi, yang dalam hal ini termasuk arbitrase syariah.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Unndang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang dalam penjelasannya menyatakan bahwa: Huruf i … Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
- bank syari’ah;
- lembaga keuangan mikro syari’ah.
- asuransi syari’ah;
- reasuransi syari’ah;
- reksa dana syari’ah;
- obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
- sekuritas syari’ah;
- pembiayaan syari’ah;
- pegadaian syari’ah;
- dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
- bisnis syari’ah.”
Kebijakan negara sebagaimana diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009, dan UU No. 3 Tahun 2006, dan sebelumnya telah diatur secara umum tentang Arbitrasi dalam UU No, 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengkta, maka secara teologis kebijakan negara tersebut terkait dengan arbitrase syariah telah diatur dalam al Quran surat al Hujurat ayat 9 yeng artinya,
“Jika dua golongan(pihak) orang-orang beriman berperang (sengketa), maka damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya thd. yang lain, maka perangilah yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali kpd.ajaran Allah. Dan jika golongan itu telah kembali, maka damaikanlah keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Juga dapat ditelaah dalam Surat An-Nisa ayat 35 yang artinya, “jika kamu khawatir terjadi sengketa diantara keduanya (suami-istri), maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Apabila kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi taufiq kpd. Suami-istri itu. Sesungguhnya Allah maha mengethui lagi Maha mengenal”.
Dengan demikian, arbitrase syariah secara kelembagaan telah mendasarkan pada konstitusi sehingga memiliki landasan konstitusional yang kuat, di samping landasan teologis yaitu al quran surat al Hujurat ayat 9 dan surat AN-Nisa ayat 35.
Oleh karena itu, badan arbitrase syariah telah mendapat landasan konstitusional dan landasan nilai agama yang diyakini oleh ummat Islam Indonesia. Desain posisi, kewenangan dan kekuatan putusan arbitrase termasuk arbitrase syariah adalah final dan mengikat, sehingga memiliki kekuatan eksekutorial.
Oleh akrena posisi lembaga arbitrase disamakan dengan prinsip independensisi lembaga peradilan. yang bermakna bahwa dalam diri Lembaga arbitrase dan arbitrase syariah terdapat kekuasaan yang tidak terikat, lepas, dan tunduk pada kekuasaan yang lain. Independensi yudisial mengandung nilai-nilai dasar: fairness, impartiality, dan good faith. Arbiter dan arbiter syariah yang independen akan memberikan Kesempatan yang sama dan terbuka kepada setiap pihak untuk didengar tanpa mengaitkannya dengan identitas atau kedudukan sosial pihak-pihak tersebut.
Seorang arbiter/arbiter syariah yang independen akan bersikap imparsial, bebas dari pengaruh dari pihak manapun, dankebal dari tekanan pihak luar, sehingga putusannya didasarkan pada nilai kejujuran (good faith), kemanfaatan, kebenaran, keadilan dan kepastian.
Berjalannya penyelesaian sengketa di luar pengadilan melui arbitrase incasu arbitrase syariah dapat berjalan efektif sesuai dengan tujuannya, maka salah satu factor utama Adalah adanya Arbiter yang memiliki kompetensi intelektual, inegritas dan skill yang mamadai. Dengan demikian pelatihan arbitrase bagi calon arbiter syariah merupakan kegiatan yang strategis dan berkelanjutan dalam kerangka meningkatan capacity building para arbiter. (Ketua Basyarnas MUI Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH., MH.)
![]()