3 Tantangan Kontra Narasi dan Solusinya untuk Mujahid Digital MUI

Dulu, ketika media cetak masih merajalela di negara kita, istilah kontra narasi sangat jarang disebut. Sekarang, setelah era digital melanda media, menumbangkan dominasi media cetak, istilah kontra narasi mulai sering disebut-sebut.

Ini karena perang opini di era digital jauh lebih dahsyat ketimbang era media cetak. Jika dulu informasi-informasi terkini baru bisa kita ketahui keesokan harinya, maka kini arus informasi berjalan sangat cepat. Tak perlu menunggu matahari terbit esok hari. Dalam waktu satu detik ke depan, informasi sudah banyak berseliweran.

Bahkan, perang opini semakin dahsyat ketika media sosial ikut masuk ke dalam gelanggang kompetisi arus informasi. Jika sebelumnya pada era media berbasis web kita masih menaruh harapan kepada para jurnalis yang terikat oleh kode etik agar tidak menyiarkan berita bohong, maka sekarang harapan itu sirna.

Sekarang, di era media sosial, semua orang bisa menjadi pewarta sekaligus narasumbernya. Padahal, sedikit sekali dari mereka yang paham UU ITE, apalagi kode etik jurnalistik. Mereka juga awam tentang syariat agama yang mengatur soal cara berkomunikasi yang beradab. Pokoknya, siapa yang pandai berceloteh, dia yang diikuti oleh massa.

Jika dulu para jurnalis harus menunjukkan kartu identitas plus kartu keikutsertaan sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk bisa membuat konten publikasi, sekarang tidak lagi. Semua orang bisa dengan mudah membuat konten publikasi dan menyiarkannya. Bahkan, di “ruang-ruang pribadi” sekali pun, seseorang bisa membuat pemberitaan. Kasus seorang bidan yang mengunggah data pribadi pasien yang belakangan viral hanyalah satu contoh dampak negatif dari kebebasan informasi.
Ketika keran publikasi sudah dibuka seluas-luasnya, maka saat itu pula istilah kontra narasi mulai muncul. Terlalu banyak berita negatif yang harus segera dibuat tandingannya agar ia tidak beredar sendirian. Berita-berita negatif tersebut bisa berupa data yang salah (hoaks), atau sudut pandang dan kesimpulan yang keliru meskipun dikemas dengan data-data yang benar.
Soal vaksinasi Covid-19, misalnya, menurut data Ditjen Aptika Kementerian Kominfo pada pertengahan Agustus 2020, terdapat hampir 2 ribu konten hoaks yang ditenggarai bakal menghambat penanganan krisis Covid-19. Jika konten-konten ini dibiarkan beredar tanpa ada konten tandingan yang menjelaskan keadaan yang sebenarnya, maka masyarakat akan menganggapnya benar. Bahkan, jika konten hoaks ini diulang berkali-kali, maka ia tak sekadar dianggap benar, tapi sudah menjadi kebenaran.
Upaya sistematis untuk mencegah munculnya pemahaman yang keliru dengan cara membuat narasi tandingan ini disebut kontra narasi. Tentu di era digital sekarang kontra narasi tidak mudah. Sebab,

pertama, internet sudah menghapus sekat-sekat wilayah, bahkan negara. Bom informasi bisa masuk dari satu negara ke negara lain tanpa bisa dibendung. Perlu diketahui, ada 4,5 milyar penduduk dunia saat ini yang menjadi pengguna internet aktif berdasarkan data weareSocial tahun 2020. Sedang di Indonesia, ada 171,17 juta penduduk dari total 265 juta yang menjadi pengguna internet aktif (data APJII tahun 2020).
Kedua, tindakan menyebarkan informasi negatif dilatarbelakangi banyak hal. Bukan sekadar karena ketidakpahaman, kecerobohan atau ketidaksengajaan, namun juga oleh kesengajaan. Mereka yang sengaja menyebarkan informasi negatif biasanya dilatarbelakangi perselisihan politik, ideologi, persaingan bisnis, atau kecemburuan (iri hati).
 Ketiga, karakter masyarakat kita yang memang mudah percaya dan suka ikut-ikutan. Ini semua menambah berat upaya kontra narasi atas informasi-informasi negatif yang beredar.

Dalam praktiknya, kontra narasi harus dilakukan secara cepat. Sudah jamak diketahui bahwa siapa yang pertama membuat narasi maka dialah yang berpeluang untuk menang. Jadi, ketika beredar narasi negatif, segera buat narasi tandingan. Jangan biarkan narasi negatif beredar terlalu lama. Ibarat penyakit, jika tak segera diobati, ia akan susah sembuh(KOMISI Infokom MUI)/ Mahladi Murni


 

Loading